Berpasangan Sama Siapa?


Hai teman-teman muda! Kalau memikirkan tentang usia remaja juga pemuda dan kebutuhan mencari pasangan, ini menjadi suatu masalah yang cukup besar dan rumit. Karena harus kita yakini ini adalah pilihan seumur hidup. Secara khusus, fokus saya adalah kaum muda Kristen. Dewasa ini kita melihat fakta bahwa sulit bagi kaum muda Kristen menemukan seorang yang seiman atau sepadan karena pergaulan kian meluas. Misalnya, di sekolah, di kampus, di sekitar lingkungan aktivitas kita bahkan di media sosial; terjadi perubahan sosiologis yang pesat. Makin banyak kesempatan bertemu dengan orang banyak, jadi kecil kesempatan untuk memilih yang satu gereja. Belum lagi fakta bahwa: di dalam gereja lebih banyak kaum wanita, jadi wanita sulit mencari pria, tidak ada pilihan dan sebagainya. 
Akhirnya, ada godaan untuk mengompromikan nilai-nilai penting dan akhirnya asal terima saja, asal menyandang status "berpacaran" atau "taken" dan ujungnya "menikah".

Sebenarnya sangat perlu bagi kita untuk menetapkan pedoman syarat dalam menentukan siapa yang layak menjadi pasangan saya.

1. Jangan Kompromikan Tentang Pasangan yang Seiman
Hanya karena merasa cocok, nyaman dan bisa saling toleransi dalam ibadahnya itu klise! Kita boleh memilih siapa saja, asal orang itu adalah orang yang percaya (I Korintus 7:39; II Korintus 6:14). Banyak orang menikah karena kepentingan, jadi mereka berusaha sedapat-dapatnya untuk menikah dan mengompromikan imannya. Meskipun kondisi terdesak, pilihan terbatas dan alasan lainnya, jangan kompromi dalam hal ini. 

Lalu, ada alasan yang seringkali muncul. (a) Nanti kami bisa ibadah masing-masing. Sadarkah bahwa ini bukti dari kekerasan hati kita? Saat kita memilih hidup dengan yang bukan seiman, kita mendukakan hati Tuhan yang memerintahkan ini. Tuhan memberi masukan demi kepentingan dan kebaikan kita, bukan menghancurkan kita. Buatlah prinsip bahwa, "Tuhan adalah Bapaku, yang mati bagiku dan mengadopsiku menjadi anak-Nya. Aku tidak bisa hidup bersama orang yang tidak mau bercakap-cakap dengan Bapaku. Aku tidak bisa mencintai orang yang tidak mengakui Bapaku." Jauh lebih indah mencintai sesama anak Bapa, bukan?

Ada pula alasan (b) Pasangan yang sama-sama Kristen pun seringkali bermasalah. Malah jauh lebih harmonis mereka yang berpasangan beda agama. Oke. Ini adalah hal yang tidak bisa dipukul rata sebagai sebuah realita. Pendapat ini membawa kita kepada syarat kedua dalam menentukan pasangan, yaitu

2. Jangan Kompromikan Tentang Kesepadanan
Kalaupun kita bertemu dengan yang seiman tapi tidak sepadan kerohaniannya, jangan diteruskan jika tidak ada upaya menyeimbangkan.Seiman bukan jaminan kita bisa menyelesaikan semua perkara dalam hidup dan hubungan. Semakin tidak sepadan, semakin keras usaha untuk menyesuaikan diri dan memutuskan bersama. Kesepadanan memungkinkan adanya kesamaan tujuan hidup, meski berbeda prinsip. Misalnya, bisa saja sepasang berbeda prinsip dalam hal memberi, tapi keseimbangan rohani akan melahirkan keputusan yang benar sesuai standar Tuhan. Tujuan bersama hanya untuk memuliakan Tuhan, mendahulukan kepentingan Kristus, bukan demi memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Ini memerlukan kesepakatan, bukan? 

Melihat dua syarat ini mungkin sudah menyulitkan kita untuk mendapatkan pasangan yang pantas. Tapi, jika kedua ketentuan tersebut sudah terpenuhi, maka hal/syarat lain bisa dikompromikan, misalnya:
a) Fisik
b) Tingkat Pendidikan
c) Suku
4) Usia
5) Kematangan Ekonomi
6) Kepribadian/Karakter dll.
Hal-hal ini adalah faktor yang terbuka dan bisa dipertimbangkan secara fleksibel mengikuti kematangan pikiran. Meskipun hal-hal ini dapat dipertimbangkan, kita tetap harus memberi pertanyaan pada diri, "Dapatkah saya terus bersama dia, mencintai dan menghormati dia seumur hidup?" Tanpa mementingkan segala kriteria itu, tidak tergantung kondisi, kita bisa menjawab IYA. Meskipun hal yang kita dambakan tidak terpenuhi dalam dirinya, dengan menerimanya berarti kta tidak perlu membangkitkan lagi faktor-faktor yang tidak ada pada dirinya. Menerima berarti tidak memaksa. 

Teman-teman, pahamilah bahwa kita hidup bukan untuk menikah. Kita hidup untuk Kristus (II Korintus 5:15). Terpenting adalah melakukan pekerjaan-Nya selama kita hidup. Jangan dikecohkan dengan pendapat bahwa, hidup itu untuk menikah dan punya anak atau kalau tidak menikah rasanya tidak normal atau menikah itu perintah Tuhandll. Tuhan tidak pernah memberi perintah untuk menikah seperti halnya perintah mengasihi. Hukum yang terutama adalah mengasihi bukan menikah. Hidup bukan untuk menyenangkan kita tapi menyenangkan Tuhan. Serahkanlah diri kepada Tuhan, maka jika kita punya pasangan dan menikah pun, itu untuk menyenangkan Tuhan. 
Jangan terburu-buru untuk menikmati The Wonderful Godly Relationship!

Tuhan memberkati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Berkat Meski Dalam Pergumulan Berat

Digoda Tapi Tidak Ternoda

Menggunakan Kesempatan dalam Kesempitan