Kasih yang Melunasi Kepahitan

                Saat itu usiaku masih sangat muda dan labil. Kira-kira 13 tahun. Aku tinggal dengan orang tua kandungku, namun tidak merasa demikian. Aku menolak kutipan klasik yang mengatakan, “Rumahku, istanaku.” Karena, itu tidak bagiku. Sepertinya, rumahku adalah sebuah perusahaan yang sangat membutuhkan karyawan, namun aku dijadikan sebagai karyawan paksa. Ceritanya bermula dari latar belakang keluargaku.

                Kedua orang tuaku bersuku Batak Toba. Meskipun bertemu di Jawa dan tinggal di Jawa setelah menikah, tetap saja darah Batak itu kental mengalir dalam tubuh mereka. Mereka teramat tegas dan keras. Bagiku saat itu. Entah mengapa, aku berasumsi bahwa mereka hanya menjadikan aku pekerja tanpa upah, bukan anak kandung mereka.  Mengapa?

                Dari sejak usia 12 tahun aku layak disebut orang rumahan, yang jika keluar rumah hanya pergi ke sekolah atau gereja. Yang aku lakukan adalah mencuci pakaian, mencuci piring, bersih-bersih rumah, jaga adik, jaga warung (usaha orang tuaku), masak, dan terkadang belajar. Miris, bukan? Sementara, teman-temanku bergaul dengan begitu luas karena bebas pergi kemanapun mereka kehendaki. Bahkan, sampai berusia 17 tahun/lulus SMA aku masih layaknya balita, yang tidak bisa seenaknya pergi ke mall bareng temen, ke bioskop tiap weekend dll. Kalaupun pernah, aku melakukannya tanpa sepengetahuan orang tuaku.

                Aku menanam kebencian kepada orang tuaku karena aku tidak terima masa remajaku berlalu dengan hambar. Nazarku, “Kelak, aku akan perlakukan anakku seperti ratu/raja, yang bebas menikmati masa remajanya. Jangan seperti aku!”

                “Tidak ada orang tua yang ingin anaknya menderita. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya.” Itulah yang selalu kudengar mengenai orang tua, namun tidak pernah aku hiraukan. Bagiku saat itu orang tua ku tidak pernah menginginkan aku bahagia menikmati masa remajaku. Mereka hanya membutuhkan keringat dan jasaku. Setiap hari bahkan setiap pulang sekolah, aku selalu merencanakan untuk terlambat pulang ke rumah.

                Singkat cerita, saat aku terpanggil menjadi Hamba Tuhan pada usia 15 tahun, lambat laun kehidupanku diubahkan. Merenungi panggilan yang Tuhan tanamkan dalam hatiku, aku dituntut setia membaca dan merenungkan firman-Nya, yang kemudian membukakan mata hatiku akan orang tuaku. Dengan pergumulan yang sangat, aku berusaha mengampuni orang tuaku karena tuntutan, “Hamba Tuhan harus berdamai dengan semua orang. Terlebih orang tua sebagai wakil Allah di bumi.” Rasanya saat itu aku hanya sekadar mengiyakan pengampunan bagi orang tuaku, tanpa kesungguhan. Semakin dekat waktunya, Tuhan sungguh meneguhkan panggilan-Nya dalam diriku dan Ia membawaku jauh merantau sebagai seorang Hamba Tuhan. Aku meninggalkan keluargaku dan berjuang memulai kehidupan yang baru.

                Di kampus, mahasiswa harus bangun pukul 04.00 dan mengawali hari dengan bersaat teduh. Kemudian kerja subuh, dan kerja bakti, dituntut rajin membersihkan  lingkungan, terampil melakukan pekerjaan dapur, kebun dll. Wow! Rasanya ini jauh dari  bayanganku sebelumnya. Mulutku tidak menggerutu bahkan mengeluh dengan apa yang kujalani di kampus. Hanya, hatiku pedih menangis membayangkan apa yang telah berlalu. Aku baru menyadari sungguh betapa berartinya didikan kedua orang tuaku bagi masa depanku. Aku sungguh memahami bahwa Tuhan tidak pernah salah menempatkan mereka dalam hidupku. Mereka adalah yang terbaik dan  tidak tergantikan bagiku. Aku selalu memandang kelemahan mereka, tanpa sadar betapa peluh orang tuaku terkuras dalam mendukung kerinduanku. Betapa hinanya aku telah dendam kepada kedua orang tuaku, yang jelas-jelas mengasihiku lebih dari apapun. Semua yang mereka buat sangat berguna bagi pelayananku, sebagai hamba yang harus hidup ‘apa adanya’.


                Ams 10:12  “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran.” Meski kasihku pada mereka tidak sebesar kasih mereka padaku, namun kasih mereka memulihkan segala bentuk kebencianku. Semua telah dibayar LUNAS! Oleh kasih, yang selalu ku lihat dalam tetes perjuangan kedua orang tuaku. Mereka menjadikanku wanita tegar, dewasa dan bernilai. Nazarku berubah. “Kelak, aku akan mendidik anakku dengan cara yang sama seperti kedua orang tuaku.”

Facebook: Yesi Tamara Sitohang
E-mail: yesitamara31@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Berkat Meski Dalam Pergumulan Berat

Digoda Tapi Tidak Ternoda

Menggunakan Kesempatan dalam Kesempitan